1.Ketua Lembaga Pemantau Lingkungan Hidup (LPLH) – Babel.

2.Ketua Forum Redam Korupsi (FORK) – Cabang Bangka Belitung.

Sabtu, 07 September 2013

Korupsi, Bahaya Laten!

Krisis multidimensional yang menggelayut bangsa ini tidak juga menunjukkan tanda-tanda kapan akan berakhir. Rasanya kita skeptis dan pesimis dengan masa depan bangsa ini. Berbagai upaya menuju keadaan lebih baik tidak kunjung memberi harapan dan kepastian akan keberhasilan. Memandang masa depan merupakan keharusan di tengah ketidakpastian yang menyelimuti bangsa ini.
Namun, seolah kita menatap ke masa depan dalam ketidakpastian dan keraguan, masihkah ada harapan menuju keadaan baru yang lebih baik. Tragedi kekerasan dan main hakim sendiri, ancaman terorisme, konflik elit politik, kecelakaan lalu lintas yang bertubi-tubi akibat penggunaan narkoba, dan berbagai peristiwa sosial menyedihkan lain menjadi mozaik yang menambah rentetan secara kelam bangsa ini.
Tragisnya, keadaan bangsa ini semakin runyam, para pemimpin bangsa atau para penegak hukum yang menjadi pemandu bangsa keluar dari masalah-masalah yang melilit justru menempatkan diri menjadi bagian dari masalah yang harus diselesaikan. Justur mereka menjadi trouble maker (pembuat masalah). Dalam konteks ini, kita kehilangan figur pemimpin yang mampu membawa bangsa ini menuju perbaikan-perbaikan menjanjikan. Yang ada para pemegang kekuasaan terjerat kasus korupsi. Kini, korupsi menjadi tontonan publik yang memalukan.
Menjadi pertanyaan besar di benak kita, mengapa korupsi di negeri ini telah membudaya di kalangan elit atas (mainstream)? Seorang pemerhati budaya, Paulus Mujiran, meyatakan dalam bukunya Krikil-Krikil di Masa Transisi, hal itu disebabkan, pola kepemimpinan di negara ini masih menganut paham paternalistik. Ketika pemimpin dalam sebuah negara atau instansi melakukan KKN, serta merta anak buahnya melakukan hal yang sama. Justru kalau ada anak buah yang kedapatan tidak berkorupsi, malahan divonis tidak loyal pimpinan, tidak taat, malahan pangkatnya tidak dinaikkan. Sungguh ironis.
Dari sisi akibat korupsi, korupsi berakibat sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, baik aspek kehidupan sosial, politik, birokrasi, ekonomi, dan individu. Bahaya korupsi bagi kehidupan bak kanker dalam darah, sehingga si empunya badan harus selalu melakukan “cuci darah” terus menerus jika ia menginginkan dapat hidup terus.
Bahaya korupsi terhadap individu dan masyarakat dapat dijelaskan bahwa jika korupsi dalam suatu masyarakat telah merajalela, maka akibatnya akan menjadikan masyarakat tersebut sebagai masyarakat yang kacau, tidak ada sistem sosial yang dapat berlaku dengan baik. Setiap individu dalam masyarakat hanya akan mementingkan diri sendiri dan tidak akan ada kerjasama dan persaudaraan yang tulus.
Korupsi juga membahayakan terhadap moral dan intelektual masyarakat. Ketika korupsi merajalela, maka tidak ada nilai utama atau kemuliaan dalam masyarakat. Dalam hal ini, korupsi dapat menimbulkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinisism (Theobald, 1990: 112). Jika suasana iklim masyarakat telah tercipta demikian itu, maka keinginan publik untuk berkorban demi kebaikan dan perkembangan masyarakat terus menurun dan mungkin hilang.
Dalam jangka panjang, korupsi dapat merusak generasi muda. Betapa tidak, negara yang korupsi telah menjadi makanan sehari-harinya, pemuda tumbuh dengan pribadi antisosial, selanjutnya generasi muda akan menganggap bahwa korupsi sebagai hal biasa, sehingga perkembangan pribadinya menjadi terbiasa dengan sifat tidak jujur dan tidak bertanggungjawab. Jika generasi muda suatu bangsa keadaannya seperti itu, bisa dibayangkan betapa suramnya masa depan bangsa tersebut.
Dari sisi ekonomi, korupsi merusak perkembangan ekonomi suatu bangsa. Jika suatu projek ekonomi dijalankan sarat dengan unsur-unsur korupsi misalnya, penyuapan untuk kelulusan projek, maka pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dari projek tersebut tidak akan tercapai
Bahaya korupsi terhadap politik dan birokrasi, jika praktik korupsi telah membudaya dalam politik seperti pemilu curang, money politics, dan sebagainya dapat menyebabkan keroposnya bahkan rusaknya demokrasi, karena untuk mempertahankan kekuasaan, penguasa korup itu akan menggunakan kekerasan atau menyebarkan korupsi lebih luas lagi di masyarakat. Di samping itu, keadaan yang demikian itu akan memicu terjadinya instabilitas sosial politik dan integrasi sosial, karena terjadi pertentangan antara penguasa dan rakyat. Sementara dari segi birokrasi, korupsi menyebabkan tidak efisiennya birokrasi dan meningkatnya biaya administrasi dalam birokrasi. Jika birokrasi telah dikungkungi oleh korupsi dengan berbagai bentuknya, maka prinsip dasar birokrasi yang rasional, efisien, dan berkualitas tidak akan pernah terealisasi. Kualitas layanan pasti sangat jelek dan mengecewakan publik. Hanya orang yang berduit saja yang akan dapat layanan baik karena mampu menyuap. Keadaan ini dapat menyebabkan merebaknya keresahan sosial, dikebirinya keadilan sosial dan selanjutnya mungkin kemarahan sosial.
Dari perspektif realitas sosial tersebut, korupsi merupakan bahaya laten yang sangat membayahakan keberlangsungan kehidupan manusia dari berbagai aspeknya, baik aspek politik, sosial, ekonomi, birokrasi, individu dan masyarakat, dan bahkan moral generasi muda.
Dalam kondisi seperti itu menjadi jelas pertanyaan bagi kita, apa yang bisa kita lakukan untuk membawa Indonesia keluar dari krisis korupsi yang tak berujung? Di tengah ancaman krisis seperti itu, hanya nuranilah yang masih mampu menyuarakan kebenaran.

Sumber : http://hukum.kompasiana.com/2013