1.Ketua Lembaga Pemantau Lingkungan Hidup (LPLH) – Babel.

2.Ketua Forum Redam Korupsi (FORK) – Cabang Bangka Belitung.

Senin, 25 November 2013

Indonesia Negara Hukum, Mengapa Korupsi Merajalela?

Manusia tidak lepas dari kebutuhan. Pada hakikatnya berbagai macam kebutuhan ini ada yang harus dipenuhi sesaat dan ada yang ditunda untuk dipenuhi dan ada juga yang tidak perlu dipenuhi, itulah ungkapan ekonomi yang saya tahu sejak saya kelas X di bangku sekolah. Pada dasarnya kebutuhan manusia itu tidak semuanya harus dipenuhi, namun karena sifat manusia sebagaimana yang dijelaskan oleh seorang guru Ekonomi di bangku Aliyah Suratini, SE., mengatakan bahwa manusia memiliki sifat yang tidak pernah puas yang menyebabkan kebutuhannya tidak terbatas. Kita tidak bisa menafikan bahwa ada nilai kerakusan di dalam diri manusia, yang menyebabkan dirinya memiliki sifat tidak pernah puas dan kebuthannya tidak terbatas. Sifat yang tidak pernah puas ini bertentangan dengan hakikat keinginan manusia, yaitu  selalu menginginkan kepuasan, sehingga berbagai cara dilakukan agar mendapat kepuasan itu. Kepuasan inilah yang sebenarnya menjadi kebutuhan manusia. Ketika kebutuhan yang satu terpenuhi timbul lagi kebutuhan lain setelah kebutuhan lain ini terpenuhi, ternyata manusia tidak puas sehingga timbul lagi kebutuhan yang lainnya dan begitu seterusnya hingga manusia itu meninggal dunia, bahkan ada yang mengatakan setelah meninggal duniapun masih membutuhkan sesuatu yang harus dipenuhi oleh keluarganya yang masih hidup. Memang dasar manusia, makhluk yang tidak pernah puas.

Masing-masing manusia memiliki kebutuhan yang menuntut mereka untuk memenuhinya. Manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda sehingga kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhanpun berbeda-beda sesuai kemampuan mereka. Hal inilah yang mengakibatkan manusia ada yang kaya dan ada yang miskin, ada yang bahagia dan ada yang susah, kesenjangan terjadi, yang miskin ingin kaya yang kaya ingin semakin kaya sehingga berlomba-lomba menuju kekayaan dan unjuk kekayaan. Terjadi bentrok dimana-mana., yang miskin bentrok dengan yang kaya dan yang kaya bentrok dengan yang kaya juga, akhirnya sesame miskinpun ikut-ikutan saling bentrok. Permasalahannya menjadi kompleks, jika tidak diatur maka akan merusak dan terus menerus saling mematikan satu dengan yang lain. Keharmonisan, kenyamanan, dan keselamatanpun terancam. Kesejahteraanpun akan mustahil terlaksana. Sehingga timbul aturan yang kita sebut hukum untuk menjamin adanya kesejahteraan social (social wefare).
Ada masyarakat, ada hukum, hukum itu kalau tidak dijamin keberlangsungannya akan menjadi lemah dan tidak tegas, banyak kecurangan sehingga harus ada yang menegaskan dan menegakkan, sehingga manusia dengan akalnya menciptakan alat penegak hukum yang saya sebut “Negara”. Maka bersyukurlah manusia dianugerahi akal oleh Tuhan.
Sebagaimana yang dipaparkan diatas manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam memenuhi kebutuhannya. Ditambah lagi, manusia itu ada yang baik dan ada yang buruk (sifatnya). Manusia yang baik akan menggunakan cara yang baik untuk memenuhi kebutuhannya dan begitu juga dengan manusia yang buruk akan menggunakan cara yang buruk untuk memenuhi kebutuhannya, meskipun dalam kenyataannya tidak selamanya begitu.
Nah, salah satu cara manusia untuk memenuhi kebutuhannya (lebih ideal dibaca kerakusannya) adalah “korupsi.” Tidak bisa dipungkiri inilah yang terjadi. Wajar korupsi terjadi, tetapi tidak wajar jika korupsi merajalela apalagi di negara hukum seperti di negara tercinta Indonesia. Jika kita merenungkan kalimat ini maka akan menimbulkan kebingungan dan saling menyalahkan satu dengan yang lainnya. Indonesia negara hukum tetapi korupsi merajalela. Apa yang salah? Siapa yang salah? Mengapa salah? Jadi Siapa yang harus disalahkan? Dan bagaimana agar semuanya benar? Ini menjadi kompleks dan semakin rumit, kita menjadi putus asa dan pesimis.
Berbagai upaya dilakukan untuk memberantas korupsi ini misalnya pembuatan undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia yaitu UU No. 31 Tahun 1999 dan kemudian digantikan dengan yang baru UU No. 20 Tahun 2001, tetapi ironinya semakin ada undang-undang yang mengaturnya semakin marak terlihat orang yang melakukannya.
Ditataran Internasional, Indonesia menunjukkan aib yang seharusnya memalukan misalnya Organisasi Fund for Peace merilis indeks terbaru mereka mengenai Failed State Index 2012 di mana Indonesia berada di posisi 63. Sementara negara nomor 1 yang dianggap gagal adalah Somalia. Dalam membuat indeks tersebut, Fund for Peace menggunakan indikator dan subindikator, salah satunya indeks persepsi korupsi. Dalam penjelasan mereka, dari 182 negara, Indonesia berada di urutan 100 untuk urusan indeks korupsi tersebut. Indonesia hanya berbeda 82 dari negara paling korup berdasarkan indeks lembaga ini, Somalia.[1] Jika kita lebih ke belakang lagi misalnya pada tahun 2006 Indonesia memperoleh peringkat ke 130 dari 163 Negara yang dirilis oleh Transparansi Internasional.[2] Inilah yang memang terjadi di Indonesia, yang tidak bisa kita elakkan.
Namun walaupu begitu, kita tidak boleh pesimis, makanya kita harus optimis. Optimis sebagai pijakan awal dalam menyelesaikan segala problem.
Dibawah ini kita akan mengurai secara singkat tentang korupsi di Indonesia.
Pengertian dan Penyebab
Korupsi merupakan sebuah istilah yang sangat akrab di telinga kita, setiap hari baik di media televisi ataupun di media cetak selalu menyinggung istilah ini. Saking populernya istilah ini semua orang hampir mengetahuinya, entah di kalangan masyarakat awam ataupun masyarakat terdidik, baik muda maupun tua telah akrab dengan istilah ini. Namun tidak semua kalangan itu memahami seluk beluk dan klasifikasinya inilah yang berbahaya yang menjadi salah satu problem yang harus di pecahkan jika kita ingin memberantas kemerajalelaan korupsi itu. Secara singkat dipaparkan di bawah ini.
Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam Bahasa Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dan dalam Bahasa Sansekerta yang tertuang dalam Naskah Kuno Negara Kertagama arti harfiah corrupt menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkut pautkan dengan keuangan.[3]
Korupsi di dalam Black’s Law Dictionary adalah “suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.”[4]
Dalam hukum positif anti korupsi khususnya Pasal 1 angka 1 Bab Ketentuan Umum UU No. 30 Tahun 2002 disebutkan tentang pengertian tindak pidana korupsi: “Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan demikian, dapat di jabarkan mengenai pengertian tindak pidana korupsi adalah semua ketentuan hukum materil yang terdapat di dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah digantikan dengan UU No. 20 Tahun 2001 yang diatur dalam Pasal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12A, 12B, 13, 14, 15, 16, 21, 22, 23, dan 24.[5]
Dari pasal-pasal yang tertera diatas telah jelas tindakan-tindakan yang termasuk korupsi itu.
Lebih jelasnya pengelompokan atau kategorisasi korupsi dapat di lihat di bawah ini.
  1. Penyuapan adalah pembayaran (baik dalam bentuk uang ataupun dalam bentuk lainnya) yang diberikan atau diterima dalam suatu hubungan yang korup. Untuk membayar atau menerima suap dapat digolongkan sebagai korupsi, dan harus dipahami sebagai inti dari korupsi. Penyuapan adalah suatu jumlah tertentu, suatu persentase dari nilai kontrak, atau bentuk-bentuk lain dari pemberian uang, yang biasanya dibayarkan kepada pejabat negara yang dapat membuat kontrak atas nama negara atau mendistribusikan keuntungan kepada negara, individu, pengusaha dan klien. Suap sendiri dapat dibedakan atas pembayaran kembali, uang pelicin, dan hadiah, yang diterima dari publik. Bentuk-bentuk pembayaran tersebut ditujukan untuk mempercepat dan mempermudah berbagai urusan yang berkaitan dengan birokrasi negara. Pemberian tersebut dipergunakan untuk menghindari pajak, peraturan-peraturan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, atau bahkan untuk memproteksi pasar dan monopoli, perizinan ekspor-impor, dan lain-lain. Suap juga dapat berupa pajak tidak resmi, jika pejabat publik membebankan “biaya tambahan” (under the table payment) kepada konsumen (masyarakat/publik). Dapat pula dikategorikan sebagai suap apabila seorang pejabat pemerintah atau orang-orang partai yang melakukan kampanye dan kemudian oleh para pemilihnya diberikan donasi ataupun bentuk-bentuk hadiah lainnya.
  2. Penggelapan merupakan bentuk pencurian yang dilakukan oleh pejabat publik terhadap publik, merupakan bentuk penyalahgunaan dana publik. Penggelapan terjadi bila pejabat negara mencuri dari institusi publik yang dipimpinnya. Bagaimanapun, pegawai yang tidak loyal dapat menggelapkan uang dan bentuk-bentuk lainnya dari tempat mereka bekerja. Dari sudut hukum, penggelapan tidak termasuk dalam kategori korupsi. Menurut terminasi hukum korupsi merupakan transaksi antara dua individu, yaitu pemerintah di satu sisi dan publik di sisi lainnya, yaitu oknum pemerintah tersebut mempergunakan hukum dan peraturan untuk melindungi dirinya dari bentuk suap. Penggelapan lebih tepat dikategorikan sebagai bentuk pencurian karena perbuatan tersebut tidak melibatkan sisi publik secara langsung.  Berdasarkan hal tersebut harus ada political will yang bertindak sebagai suatu kekuasaan kehakiman yang bebas dan kemampuan hukum untuk mengawasi penggelapan. Penggelapan merupakan bentuk dari korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Dapat dikategorikan sebagai penggelapan adalah manakala pejabat publik melalui kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya memperluas bisnis pribadi dan mendistribusikannya kepada anggota-anggota keluarga mereka. Sejumlah bentuk perusahaan negara dan badan usaha negara lainnya dipegang oleh orang-orang yang dekat dan keluarga dari pihak yang berkuasa.
  3. Penipuan merupakan kejahatan ekonomi yang melibatkan bentuk-bentuk tipuan. Hal ini merupakan perluasan bentuk dari penggelapan dan suap. Sebagai contoh dari bentuk penipuan adalah bila agen-agen negara dan perwakilan-perwakilan negara terikat dalam jaringan perdagangan ilegal.
  4. Pemerasan adalah meminta uang ataupun bentuk-bentuk lainnya yang mempergunakan kekerasan dan paksaan. Yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pemerasan dalam hal ini adalah penarikan uang perlindungan atau uang keamanan yang biasa dilakukan oleh “preman-preman”. Praktek korupsi pada bentuk ini dapat juga berasal dari atas, jika negara  sendiri yang bertindak sebagai mafia.
  5. 5.      Kolusi merupakan mekanisme penyalahgunaan wewenang dalam hal privatisasi dan distribusi yang bias dari sumber daya milik negara.  Kolusi merupakan perbuatan yang melibatkan orang-orang yang memiliki kedekatan seperti misalnya keluarga, orang yang dipercayai ataupun kolega. Kolusi berkaitan dengan korupsi yang berdampak terhadap tidak meratanya distribusi sumber daya. Kolusi bukan hanya merupakan permasalahan hukum dan prosedur melainkan juga menyangkut mengenai permasalahan kualifikasi, skill dan inefisiensi.
  6. 6.      Nepotisme adalah bentuk khusus dari kolusi, pemegang kekuasaan lebih menyenangi dalam berhubungan dengan orang-orang tertentu seperti misalnya keluarga.[6]
Kemudian penyebab terjadinya korupsi bermacam-macam, secara gamblang misalnya seperti yang dikemukakan oleh Ermansjah Djaja sebagai berikut.
  1. Sistem penyelenggaraan Negara yang keliru
  2. Kompensasi PNS yang rendah
  3. Pejabat yang serakah
  4. Law enforcement yang tidak berjalan
  5. Hukuman yang ringan tehadap koruptor
  6. Pengawasan yang tidak efektif
  7. Tidak adanya keteladanan pemimpin
  8. Budaya masyarakat yang kondusif KKN
Tentang kausa ini berbagai pendapat dilontarkan. Ditambah dengan pengalaman-pengalaman sehingga dapat dibuat asumsi atau hipotesa sebagai berikut.
  1. Kurangya      gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang      makin hari kian bertambah
  2. Latar      belakang kebudayaan Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya      korupsi
  3. Managemen      yang kurang baik dan control yang kurang efektif dan efisien
  4. Penyebab      korupsi adalah modernisasi[7]
Berbagai pendapat telah banyak dilontarkan mengenai penyebab terjadinya korupsi, namun itu seolah-olah tidak adanya pengaruh bagi penanganannya. Hari demi hari korupsi semakin merajalela. Korupsi telah menjadi hegemoni bagi masyarakat Indonesia, sejak zaman colonial budaya korupsi telah ditumbuh kembangkan di kalangan masyarakat, sehingga lambat laun tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat yang kemudian mendarah daging di generasi bangsa. Sebagai buktinya bisa dilihat generasi Indonesia adalah generasi bermental koruptor, dan lihat juga ada penerimaan secara sukarela di dalam masyarakat terhadap perilaku korupsi misalnya dalam ungkapan “wajarlah, namanya juga manusia, butuh makan butuh minum” ini adalah salah satu bukti telah menghegemoninya korupsi di kalangan generasi bangsa.
Analisis Mengapa Korupsi Merajalela
Sebelum kita beranjak lebih jauh mungkin kita harus melontarkan pertanyaan pembuka, mengapa korupsi sulit diberantas? Dalam menjawab pertanyaan ini perlu dianalogikan dengan pencurian, mengapa pencurian sulit diberantas? Dari penganalogian ini dapat ditarik jawaban singkat yaitu mustahil korupsi diberantas layaknya mustahil pencurian diberantas. Tetapi dalam pembahasan ini, bukan ini yang dimaksud melainkan pertanyaan mengapa korupsi merajalela pada hal Indonesia adalah Negara hukum? Apa yang salah? Siapa yang salah? Dan siapa yang harus disalahkan?
Menjadi suatu hal yang lazim jika korupsi ada, namun menjadi tidak lazim jika korupsi merajalela.
Indonesia adalah negara hukum sehingga menjadi tidak wajar jika korupsi merajalela, tetapi dalam kenyataannya merajalela. Sebelum kita mengkritik berbagai hal terlebih dahulu kita harus melihat bagaimana penegakan hukum di Indonesia, apakah telah tegak ataukah masih miring. Jelas jawabannya adalah masih miring sehingga inilah yang menyebabkan korupsi itu merajalela.
Dalam menegakkan hukum dan memberantas korupsi, seperti yang dikatakan Soerjono Soekanto setidaknya ada emapt faktor yang perlu ditinjau.
Pertama, factor hukum itu sendiri. Apakah hukum ini sudah tepat ataukah masih perlu dirubah sesuai dengan perkembangan zaman, apakah hukum ini sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan apakah hukum ini bisa ditegakkan, dalam hal ini dapat dimanifestasikan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang lain yang mendukungnya.
Kedua, factor penegak hukum. Apakah penegak hukum mau menegakkan hukum ataukah sebaliknya, apakah sanggup penegak hukum menegakkan hukum itu. Jika mau dan sanggup tentu usahanya tidak boleh setengah-setengah, harus sekuat tenaga dan semaksimal mungkin. Dalam hal ini ada dua kategori penegak hukum yaitu penegak hukum aktif: KPK, Polisi, Jaksa, Hakim, dan Pengacara. Sedangkan penegak hukum pasif adalah semua warga negara Indonesia.
Ketiga, factor budaya hukum. Bagaimana budaya masyarakat dalam menjunjung hukum. Di Indonesia sendiri budaya yang ada adalah budaya yang melanggar hukum dan meng-iya-kan tidak korupsi itu sendiri. Dalam factor ini yang ditinjau adalah kesadaran dan dukungan dari masyarakat dalam mematuhi dan menegakkan hukum yang berkembang. Di Indonesia sendiri masih menunjukkan nilai minus terhadap ketaatan hukum. Dan
Keempat, factor fasilitas. Penegakan hukum memerlukan fasilitas yang memadai, sekarang ini sudah mulai terbentuk sarana ataupun fasilitas yang mendukung penegakan Indonesia terkait korupsi seperti adanya KPK dan lain-lain, namun masih baru-baru sehingga kinerjanya masih belum menampakkan cahaya terang.
Itulah jika dilihat dari perspektif hukum. Berbeda dengan perspektif social-ekonomi dan pendidikan. Dari perspektif social-ekonomi tentu negara harus menjamin kesejahteraan social-ekonomi masyarakat yang merupakan kewajibannya bagi warga negaranya, namun nampaknya dalam hal ini negara masih belum mampu menjamin hal itu, sehingga menyebabkan masyarakat dengan menghalalkan segala cara termasuk korupsi untuk memenuhi kebutuhanya. Kemudian dari aspek pendidikan, telah kita ketahui bersama jumlah masyarakat Indonesia ini adalah masyarakat berpendidikan, selainnya adalah orang awam. Dan jika ada yang berpendidikan namun menunjukkan kenakalan.
Belum lagi ditinjau dari aspek moral, moral bangsa akan menentukan juga kondisi penegakan hukum dan kesadarn masyarakat terhadap korupsi. Masyarakat yang baik moralnya tentu akan patuh dan tidak akan melakukan kejahatan dalam hal ini adalah korupsi, namun lagi-lagi moral bangsa Indonesia masih dipertanyakan.
Sehingga dari pemaparan ini semakin jelas dan tampak bahwa kemerajalelaan korupsi di Indonesia akan sulit diberantas dan memakan waktu yang sangat lama.
Kesimpulan
Secara umum dari asal katanya korupsi berarti perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkut pautkan dengan keuangan. Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi UU No. 31 tahun 1999 kemudian digantikan oleh UU No. 20 Tahun 2001 telah jelas memaparkan macam-macam bentuk perbuatan yang termasuk tindak pidana korupsi secara sepesifik. Namun secara umum dapat diklasifikasikan menjadi bentuk-bentuk penyuapan, penggelapan, penipuan, pemerasan, kolusi, dan nepotisme.
Adapaun yang menjadi penyebab terjadinya tindak pidana ini yaitu: budaya masyarakat yang kondusif KKN, Sistem penyelenggaraan Negara yang keliru, kompensasi PNS yang rendah, pejabat yang serakah, Law enforcement yang tidak berjalan, hukuman yang ringan tehadap koruptor, pengawasan yang tidak efektif. Sedangkan penyebab kemerajalelaan korupsi itu ialah Law enforcement yang tidak berjalan, ditambah lagi adanya hegemoni di kalangan masyarakat yang memperlihatkan kefatalan, bahwa masyarakat akrab dan tidak merasa bersalah melakukan kejahatan ini. Di satu sisi kondisi generasi bangsa yang semakin terdegradasi sehingga memudahkan penyakit (penyakit) ini menyebar dan menular ke generasi yang lain. Ketika  pemerintah ingin memberantas korupsi setidaknya ada empat bidang kehidupan yang harus dibenahi yaitu bidang ekonomi yang akan menghindarkan masyarakat dari kemiskinan; bidang pendidikan agar masyarakat menjadi pintar dan kebodohan bisa diberantas; bidang budaya dan moral agar masyarakat terselamatkan dari rasa tamak dan rakus dan mempunyai kepribadian yang ideal serta memiliki budaya generasi muda anti korupsi; dan bidang politik yang transfaran, jujur, amanah, dan pro rakyat.