Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa korupsi
adalah, “Penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan
dsb.) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.” (KBBI Hal. 462).
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa harta yang diselewengkan
oleh seorang pegawai koruptor adakalanya harta milik sekelompok orang
tertentu, seperti perusahaan atau harta serikat dan adakalanya harta
milik semua orang, yaitu harta rakyat atau harta milik negara.
Dalam tinjaun fikih, seorang pegawai sebuah perusahaan atau pegawai
instansi pemerintahan, ketika dipilih untuk mengemban sebuah tugas,
sesungguhnya dia diberi amanah untuk menjalankan tugas yang telah
dibebankan oleh pihak pengguna jasanya, sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Karena beban amanah ini, dia mendapat imbalan (gaji) atas tugas
yang dijalankannya. Ketika ia menyelewengkan harta yang diamanahkan,
dan mempergunakannya bukan untuk sesuatu yang telah diatur oleh pengguna
jasanya, seperti dipakai untuk kepentingan pribadi atau orang lain dan
bukan untuk kemaslahatan yang telah diatur, berarti dia telah berkhianat
terhadap amanah yang diembannya.
Dalam syariat, pengkhianatan terhadap harta negara dikenal dengan ghulul. Sekalipun dalam terminologi bahasa Arab, ghulul berarti sikap seorang mujahid yang menggelapkan harta rampasan perang sebelum dibagi. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, XXXI/272).
Dalam buku Nadhratun Na’im disebutkan bahwa di antara hal yang termasuk ghulul
adalah menggelapkan harta rakyat umat Islam (harta negara), berdasarkan
hadis yang diriwayatkan dari Al-Mustaurid bin Musyaddad, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa yang kami angkat sebagai aparatur negara
hendaklah dia menikah (dengan biaya tanggungan negara). Jika tidak
mempunyai pembantu rumah tangga hendaklah dia mengambil pembantu (dengan
biaya tanggungan negara). Jika tidak memiliki rumah hendaklah dia
membeli rumah (dengan biaya tanggungan negara). (Nadhratun Na`im, XI.
Hlm. 5131)
Abu Bakar berkata, “Aku diberitahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa (aparat) yang mengambil harta negara selain untuk hal yang telah dijelaskan sungguh ia telah berbuat ghulul atau dia telah mencuri”. (HR. Abu Daud. Hadis ini dinyatakan shahih oleh Al-Albani).
Ibnu Hajar Al Haitami (wafat: 974 H) berkata, “Sebagian para ulama
berpendapat bahwa menggelapkan harta milik umat Islam yang berasal dari baitul maal (kas negara) dan zakat termasuk ghulul“. (Az Zawajir an Iqtirafil Kabair, jilid II, Hal. 293).
Istilah ghulul untuk korupsi harta negara juga disetujui oleh komite fatwa kerajaan Arab Saudi, dalam fatwa No. 9450, yang berbunyi, “Ghulul, yaitu: mengambil sesuatu dari harta rampasan perang sebelum dibagi oleh pimpinan perang dan termasuk juga ghulul harta yang diambil dari baitul maal (uang negara) dengan cara berkhianat (korupsi)”. (Fataawa Lajnah Daimah, jilid XII, Hal 36.)
Ini juga hasil tarjih Dr. Hanan Malikah dalam pembahasan takyiif fiqhiy (kajian fikih untuk menentukan bentuk kasus) tentang korupsi. (Jaraimul Fasad fil Fiqhil Islami, Hal. 99)
Hukum Potong Tangan untuk Koruptor
Apakah koruptor dapat disamakan dengan pencuri? Bila disamakan dengan
pencuri, bolehkah dijatuhi hukuman potong tangan? Demikian pertanyaan
mendasar yang patut kita jawab.
Allah berfirman, yang artinya,
“>وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَآءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Maidah: 38).
Firman Allah yang memerintahkan untuk memotong tangan pencuri
bersifat mutlaq. Tidak dijelaskan berapa batas maksimal harga barang
yang dicuri, dimana tempat barang yang dicurinya dan lain sebagainya.
Akan tetapi kemutlakan ayat diatas di-taqyid (diberi batasan) oleh hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian, para ulama menyaratkan beberapa hal untuk menjatuhkan hukum
potong tangan bagi pencuri. Di antaranya: Barang yang dicuri berada
dalam (hirz) tempat yang terjaga dari jangkauan, seperti
brankas/lemari yang kuat yang berada di kamar tidur untuk barang
berharga, semisal: Emas, perhiasan, uang, surat berharga dan lainnya dan
seperti garasi untuk mobil. Bila persyaratan ini tidak terpenuhi, tidak
boleh memotong tangan pencuri.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ditanya oleh seorang laki-laki dari suku Muzainah tentang hukuman untuk pencuri buah kurma, “Pencuri
buah kurma dari pohonnya lalu dibawa pergi, hukumannya adalah dia harus
membayar dua kali lipat. Pencuri buah kurma dari tempat jemuran buah
setelah dipetik hukumannya adalah potong tangan, jika harga kurma yang
dicuri seharga perisai yaitu: 1/4 dinar (± 1,07 gr emas).” (HR. Nasa’i dan Ibnu Majah. Menurut Al-Albani derajat hadis ini hasan).
Batas minimal barang yang dicuri seharga 1/4 dinar berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh dipotong tangan pencuri, melainkan barang yang dicuri seharga 1/4 dinar hingga seterusnya.” (HR. Muslim)
Hadis ini menjelaskan maksud ayat yang memerintahkan potong tangan,
bahwa barang yang dicuri berada dalam penjagaan pemiliknya dan sampai
seharga 1/4 dinar.
Persyaratan ini tidak terpenuhi untuk kasus korupsi, karena koruptor
menggelapkan uang milik negara yang berada dalam genggamannya melalui
jabatan yang dipercayakan kepadanya. Dan dia tidak mencuri uang negara
dari kantor kas negara. Oleh karena itu, para ulama tidak pernah
menjatuhkan sanksi potong tangan kepada koruptor.
Untuk kasus korupsi, yang paling tepat adalah bahwa koruptor sama
dengan mengkhianati amanah uang/barang yang dititipkan. Karena koruptor
dititipi amanah uang/barang oleh negara. Sementara orang yang
mengkhianati amanah dengan menggelapkan uang/barang yang dipercayakan
kepadanya tidaklah dihukum dengan dipotong tangannya, berdasarkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang mengkhianati amanah yang dititipkan kepadanya tidaklah dipotong tangannya“. (HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani).
Di antara hikmah Islam membedakan antara hukuman bagi orang yang
mengambil harta orang lain dengan cara mencuri dan mengambilnya dengan
cara berkhianat adalah bahwa menghindari pencuri adalah suatu hal yang
sangat tidak mungkin. Karena dia dapat mengambil harta orang lain yang
disimpan dengan perangkat keamanan apapun. Sehingga tidak ada cara lain
untuk menghentikan aksinya yang sangat merugikan tersebut melainkan
dengan menjatuhkan sanksi yang membuatnya jera dan tidak dapat
mengulangi lagi perbuatannya, karena tangannya yang merupakan alat utama
untuk mencuri, telah dipotong.
Sementara orang yang mengkhianati amanah uang/barang dapat dihindari
dengan tidak menitipkan barang kepadanya. Sehingga merupakan suatu
kecerobohan, ketika seseorang memberikan kepercayaan uang/barang
berharga kepada orang yang anda tidak ketahui kejujurannya. (Ibnu
Qayyim, I’lamul Muwaqqi’in, jilid II, Hal. 80)
Ini bukan berarti, seorang koruptor terbebas dari hukuman apapun
juga. Seorang koruptor tetap layak untuk dihukum. Di antara hukuman yang
dijatuhkan kepada koruptor sebagai berikut:
Pertama, koruptor diwajibkan mengembalikan uang
negara yang diambilnya, sekalipun telah habis digunakan. Negara berhak
untuk menyita hartanya yang tersisa dan sisa yang belum dibayar akan
menjadi hutang selamanya.
Ketentuan ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap
tangan yang mengambil barang orang lain yang bukan haknya wajib
menanggungnya hingga ia menyerahkan barang yang diambilnya“. (HR. Tirmidzi. Zaila’i berkata, “Sanad hadis ini hasan”).
Kedua, hukuman ta’zir.
Hukuman ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku sebuah kejahatan yang sanksinya tidak ditentukan oleh Allah, karena tidak terpenuhinya salah satu persyaratan untuk menjatuhkan hukuman hudud. (Almausuah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, jilid XII, hal 276.)
Hukuman ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku sebuah kejahatan yang sanksinya tidak ditentukan oleh Allah, karena tidak terpenuhinya salah satu persyaratan untuk menjatuhkan hukuman hudud. (Almausuah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, jilid XII, hal 276.)
Kejahatan korupsi serupa dengan mencuri, hanya saja tidak terpenuhi
persyaratan untuk dipotong tangannya. Karena itu hukumannya berpindah
menjadi ta’zir.
Jenis hukuman ta’zir terhadap koruptor diserahkan kepada ulil amri
(pihak yang berwenang) untuk menentukannya. Bisa berupa hukuman fisik,
harta, kurungan, moril, dan lain sebagainya, yang dianggap dapat
menghentikan keingingan orang untuk berbuat kejahatan. Di antara hukuman
fisik adalah hukuman cambuk.
Diriwayatkan oleh imam Ahmad bahwa Nabi menjatuhkan hukuman cambuk terhadap pencuri barang yang kurang nilainya dari 1/4 dinar.
Hukuman kurungan (penjara) juga termasuk hukuman fisik. Diriwayatkan
bahwa khalifah Utsman bin Affan pernah memenjarakan Dhabi bin Al-Harits
karena dia melakukan pencurian yang tidak memenuhi persyaratan potong
tangan.
Denda dengan membayar dua kali lipat dari nominal harga barang atau
uang negara yang diselewengkannya merupakan hukuman terhadap harta.
Sanksi ini dibolehkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap “Pencuri buah kurma dari pohonnya lalu dibawa pergi, hukumannya dia harus membayar dua kali lipat”. (HR. Nasa’i dan Ibnu Majah).
Hukuman ta’zir ini diterapkan karena pencuri harta negara
tidak memenuhi syarat untuk dipotong tangannya, disebabkan barang yang
dicuri tidak berada dalam hirz (penjagaan selayaknya).
Kesimpulan
1. Pegawai perusahaan atau instansi pemerintah statusnya sebagai orang yang diberi amanah.
2. Pengkhianatan terhadap harta masyarakat, lebih besar akibatnya dari pada pengkhianatan harta milik pribadi.
3. Pengkhianatan terhadap harta yang menjadi amanah disebut ghulul.
4. Termasuk kategori ghulul adalah tindak korupsi terhadap uang negara.
5. Syarat hukuman potong tangan untuk pencuri, antara lain:
- Harus mencapai nilai minimal: 1/4 dinar (1,07 gr emas).
- Harta yang diambil berada dalam hirz (penjagaan yang layak dari pemilik).
6. Korupsi harta negara atau perusahaan (ghulul), termasuk
tindak pencurian yang tidak memenuhi syarat potong tangan. Karena pelaku
mengambil harta yang ada di daerah kekuasannya, melalui jabatannya.
Sehingga harta itu bukan harta yang berada di bawah hirz (penjagaan pemilik).
7. Hukuman untuk pelaku kriminal ada 2:
- Hukuman yang ditetapkan berdasarkan ketentuan syariat, disebut hudud.
- Hukuman yang tidak ditetapkan berdasarkan ketentuan syariat, dan dikembalikan kepada keputusan hakim, disebut ta’zir.
8. Hukuman yang diberikan untuk koruptor adalah sebagai berikut:
- Dipaksa untuk mengembalikan semua harta yang telah dikorupsi.
- Hukuman ta’zir. Hukuman ini bisa berupa denda, atau fisik seperti cambuk, atau dipermalukan di depan umum, atau penjara. Semuanya dikembalikan pada keputusan hakim.
Sumber : http://www.konsultasisyariah.com/korupsi-tidak-sama-dengan-mencuri/