Korupsi
merupakan permasalahan yang besar bagi bangsa yang besar seperti
Indonesia ini. Dimana tindakan korupsi tersebut tentu telah banyak
merugikan bagi bangsa Indonesia. Perilaku seseorang yang korupsi itu
bagaikan pencuri yang mencuri hak orang lain atau bisa disebut sebagai
mencuri di era modern. Faktanya di Negara Indonesia korupsi banyak
terjadi dan diketahui berasal dari pemerintah itu sendiri, baik dari
pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah dan juga para penegak hukum
yang tadinya bertugas menindak tindakan kejahatan seperti korupsi ini,
akan tetapi tidak sedikit pula para penegak hukum yang terlibat tindakan
korupsi
Oleh karena itu begitu banyaknya orang atau oknum yang melakukan
tindakan korupsi sehingga itulah yang menjadi kendala betapa susahnya
Negara ini memberantas korupsi di negeri Indonesia. Kenapa demikian ?
karena yang menegakan keadilan dan hukum aja bisa atau ikut juga
terjangkit virus tindakan korupsi yang menyebabkan siapa lagi yang harus
memberantas korupsi kecuali hanya diri sendiri dan tentu Allah SWT
yang akan memberi hukuman nanti di akhirat nanti. Dimana hukum Allah itu
tidak bisa dijual-beli dan dilanggar.
Seharusnya kita itu harus sadari dan wajb ketahui bahwa dampak tindakan
korupsi itu mempunyai dampak yang kronis ( dampak yang akan berpengaruh
ke seluruh lapisan ). Dampak yang akan dirasakan diri sendiri sebagai
pelaku korupsi, dirasakan juga oleh orang lain, dan lebih-lebih akan
lebih dirasakan oleh bangsa dan Negara Indonesia.
Contoh dampak yang akan dirasakan oleh diri sendiri adalah terkenanya
pelaku korupsi hukuman baik dari pemerintah ataupun masyarakat ataupun
dari Alla SWT, perasaan bersalah yang akan menghantui dalam kehidupan
kelak, dan tentu dosa yang di timbulkan dari tindakan korupsi itu
sendiri. Sedangkan dampak yang akan dirasakan oleh orang lain adalah
timbulnya kerugian baik secara materi atau non materi bagi korban
tindakan korupsi, perasaan malu terhadap orang lain yang terjadi pada
keluarga pelaku tindakan korupsi. Dan dampak yang dirasakan bangsa dan
Negara Indonesia adalah kerugian secara financial atau berkurangnya
pendapatan Negara dan rusaknya struktur pemerintahan dan moral bangsa.
Sudah banyak
Undang-Undang dan lembaga baru yang dibuat dan dibentuk, namun kenapa
perjalanan pemerintahan untuk keluar dari jeratan bencana bernama
korupsi masih panjang dan sulit.
Itulah yang menjadi topik berita sekaligus bahan perbincangan masyarakat akhir-akhir ini. Boleh dikata genderang perang melawan kejahatan korupsi yang dikumandangkan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yodhoyono telah mengandangkan para tersangka korupsi .
Para tersangkanya hanyalah merupakan gambaran dari ‘puncak gunung es’ betapa akutnya masalah korupsi menggerogoti negara kita. Permasalahan korupsi tidak hanya sekadar memindahkan uang dari laci ke saku penyelenggara negara, tetapi korupsi dilakukan secara sistemik dan terencana.
Fakta bahwa korupsi sudah sedemikian sistemik dan kian terstruktur tidak terbantahkan lagi. Mulai soal pengurusan akta kelahiran hingga pengurusan tanah kuburan, dari sektor yang berkaitan dengan kesehatan hingga masalah pendidikan. Mulai pedagang kaki lima hingga promosi jabatan untuk menduduki posisi tertentu di pemerintahan.
Sulit untuk mengingkari, korupsi sudah bersifat endemik, bekerja secara sistematis, menggerogoti birokrasi kekuasaan dan menghancurkan kepercayaan publik pada pemerintahan di Indonesia.
Ada cukup banyak fakta, laporan, pernyataan, hasil riset dan statistik serta penilaian dari berbagai pihak yang dapat digunakan untuk mendukung pernyataan di atas. Pendeknya, kita begitu pandai memperlihatkan berbagai soal menyangkut masalah korupsi, namun sedikit hasil yang menunjukkan para pelaku korupsi diproses sesuai hukum dan mendapatkan hukuman setimpal.
Dalam perspektif ekonomi, ada beberapa dampak korupsi yang bisa diajukan, antara lain terjadinya inefisiensi hingga menyebabkan biaya tinggi ekonomi yang pada akhirnya dibebankan ke konsumen. Terjadinya eksploitasi dan ketidakadilan distribusi pada sumber daya dan dana pembangunan, karena hanya elite kekuasaan dan pemilik modal yang bisa mengaksesnya.
Terjadinya inefektivitas dan inifisiensi pada birokrasi pemerintahan, karena insentif menyebabkan watak birokrasi pemerintahan tidak efektif. Terjadi penurunan investasi modal, sehingga pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pemasukan negara.
Akibat lebih lanjut, investor tidak tertarik menanamkan modalnya di negara yang angka korupsinya tinggi. Korupsi menyebabkan ketidakpastian berusaha.
Dampak langsung dari uraian di atas, pertumbuhan ekonomi mengalami stagnasi dan angka kemiskinan makin meningkat yang dapat berpengaruh luas pada stabilitas suatu negara.
Dalam konteks sosial, dampak korupsi menimbulkan problem yang besar. Ketiadaan pembangunan infrastruktur yang berkaitan dengan pelayanan pendidikan dan kesehatan menyebabkan masyarakat rentan terhadap berbagai penyakit dan rendah kompetensinya.
Masyarakat juga menjadi kian permisif pada tindak korupsi. Korupsi dianggap sebagai suatu kelaziman dan bahkan menjadi pelumas bagi proses ekonomi dan politik.
Sikap dan perilaku kolusif dan koruptif itu pada akhirnya akan meniadakan etos kompetisi secara sehat. Memperkuat anggapan bahwa siapa yang berkuasa dan mempunyai uang bisa mengatur segalanya, kesenjangan antarkelompok sosial kian melebar sehingga menciptakan kerawanan sosial.
Dalam konteks politik, terjadi distorsi kepentingan pada lembaga politik tempat proses legislasi berlangsung. Karena wakil rakyat yang dipilih melalui proses pemilu yang tidak sepenuhnya jujur, adil dan sikap koruptif menjadi bagian tak terpisahkan di dalamnya. Karena itu, elite dan lembaga politik punya kecenderungan mengabaikan aspirasi rakyat dan konstituennya.
Dalam konteks itu, menarik untuk memperhatikan sinyalemen yang diajukan ICW bahwa kini tengah terjadi korupsi oligarki ke korupsi multipartai.
Fakta tersebut membuat lembaga legislatif menjadi tidak kredibel dan rakyat menjadi distrust. Karena itu, tidaklah mengherankan bila banyak kasus yang sulit dibantah, di mana pada berbagai pemilihan kepala daerah ada dugaan terjadinya politik uang.
Berbagai kasus di atas menunjukkan beberapa hal lain yang selalu menyertai isu korupsi, yaitu adanya proses ‘tarik-menarik’ kepentingan antara elite partai di pusat dan di daerah.
Dalam konteks hukum, dampak yang paling nyata adalah makin meluasnya ketidakpercayaan rakyat pada lembaga penegak hukum. Karena itu, tidaklah mengherankan bila penyelesaian sepihak dengan menggunakan kekerasan menjadi salah satu modus yang kerap dipakai masyarakat untuk mewujudkan keadilan versi mereka.
Lembaga peradilan terus menerus mendapat tekanan dan cemoohan dari publik, karena justru membebaskan para koruptor, memberi peluang untuk tidak diperiksa hanya dengan alasan kesehatan, diperiksa di pengadilan tanpa hadirnya terdakwa atau in absentia. Pendeknya, hukum dituding menjadi diskriminatif dan keadilan potensial untuk dapat ‘diperjual-belikan’.
Ketidakmampuan akan proses penegakan hukum juga berdampak langsung pada peningkatan kecemasan masyarakat dan peningkatan angka kriminalitas. Nyawa manusia menjadi kian ‘murah’ saja, karena hanya dengan ratusan ribu saja, orang rela melakukan tindak kriminal untuk membunuh orang lain.
Akibat yang paling mengkhawatirkan, setiap masalah atau pertikaian yang muncul diselesaikan dengan kekerasan sehingga kerusuhan terjadi di mana-mana. Hukum tidak lagi bersifat responsif, tetapi menjadi instrumen untuk memperluas kewenangan kekuasaan memeras rakyat atas nama peraturan daerah dan melegalisasi kesewenangan. Hukum dimaknai bekerja secara prosedural tetapi kehilangan makna substantif dan spiritualitasnya.
Begitu luasnya dampak korupsi dikarenakan terjadi pembiaran terhadap kejahatan korupsi dan tidak pernah ada usaha yang serius dari pemerintah untuk memberantas korupsi.
Selain itu, perlu kesadaran rakyat tentang akibat dari korupsi, menyengsarakan dan merugikan banyak orang, bukan hanya sekarang, tetapi anak cucu juga kebagian sengsaranya.
Perang terhadap korupsi akan terus kita kumandangkan. Peran serta seluruh anak negeri ini diharapkan untuk mengikis korupsi. Mudah-mudahan pada waktunya nanti, korupsi dapat diberantas dari negara ini atau sekurang-kurangnya dapat ditekan sampai tingkat serendah mungkin. Semoga !
Itulah yang menjadi topik berita sekaligus bahan perbincangan masyarakat akhir-akhir ini. Boleh dikata genderang perang melawan kejahatan korupsi yang dikumandangkan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yodhoyono telah mengandangkan para tersangka korupsi .
Para tersangkanya hanyalah merupakan gambaran dari ‘puncak gunung es’ betapa akutnya masalah korupsi menggerogoti negara kita. Permasalahan korupsi tidak hanya sekadar memindahkan uang dari laci ke saku penyelenggara negara, tetapi korupsi dilakukan secara sistemik dan terencana.
Fakta bahwa korupsi sudah sedemikian sistemik dan kian terstruktur tidak terbantahkan lagi. Mulai soal pengurusan akta kelahiran hingga pengurusan tanah kuburan, dari sektor yang berkaitan dengan kesehatan hingga masalah pendidikan. Mulai pedagang kaki lima hingga promosi jabatan untuk menduduki posisi tertentu di pemerintahan.
Sulit untuk mengingkari, korupsi sudah bersifat endemik, bekerja secara sistematis, menggerogoti birokrasi kekuasaan dan menghancurkan kepercayaan publik pada pemerintahan di Indonesia.
Ada cukup banyak fakta, laporan, pernyataan, hasil riset dan statistik serta penilaian dari berbagai pihak yang dapat digunakan untuk mendukung pernyataan di atas. Pendeknya, kita begitu pandai memperlihatkan berbagai soal menyangkut masalah korupsi, namun sedikit hasil yang menunjukkan para pelaku korupsi diproses sesuai hukum dan mendapatkan hukuman setimpal.
Dalam perspektif ekonomi, ada beberapa dampak korupsi yang bisa diajukan, antara lain terjadinya inefisiensi hingga menyebabkan biaya tinggi ekonomi yang pada akhirnya dibebankan ke konsumen. Terjadinya eksploitasi dan ketidakadilan distribusi pada sumber daya dan dana pembangunan, karena hanya elite kekuasaan dan pemilik modal yang bisa mengaksesnya.
Terjadinya inefektivitas dan inifisiensi pada birokrasi pemerintahan, karena insentif menyebabkan watak birokrasi pemerintahan tidak efektif. Terjadi penurunan investasi modal, sehingga pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pemasukan negara.
Akibat lebih lanjut, investor tidak tertarik menanamkan modalnya di negara yang angka korupsinya tinggi. Korupsi menyebabkan ketidakpastian berusaha.
Dampak langsung dari uraian di atas, pertumbuhan ekonomi mengalami stagnasi dan angka kemiskinan makin meningkat yang dapat berpengaruh luas pada stabilitas suatu negara.
Dalam konteks sosial, dampak korupsi menimbulkan problem yang besar. Ketiadaan pembangunan infrastruktur yang berkaitan dengan pelayanan pendidikan dan kesehatan menyebabkan masyarakat rentan terhadap berbagai penyakit dan rendah kompetensinya.
Masyarakat juga menjadi kian permisif pada tindak korupsi. Korupsi dianggap sebagai suatu kelaziman dan bahkan menjadi pelumas bagi proses ekonomi dan politik.
Sikap dan perilaku kolusif dan koruptif itu pada akhirnya akan meniadakan etos kompetisi secara sehat. Memperkuat anggapan bahwa siapa yang berkuasa dan mempunyai uang bisa mengatur segalanya, kesenjangan antarkelompok sosial kian melebar sehingga menciptakan kerawanan sosial.
Dalam konteks politik, terjadi distorsi kepentingan pada lembaga politik tempat proses legislasi berlangsung. Karena wakil rakyat yang dipilih melalui proses pemilu yang tidak sepenuhnya jujur, adil dan sikap koruptif menjadi bagian tak terpisahkan di dalamnya. Karena itu, elite dan lembaga politik punya kecenderungan mengabaikan aspirasi rakyat dan konstituennya.
Dalam konteks itu, menarik untuk memperhatikan sinyalemen yang diajukan ICW bahwa kini tengah terjadi korupsi oligarki ke korupsi multipartai.
Fakta tersebut membuat lembaga legislatif menjadi tidak kredibel dan rakyat menjadi distrust. Karena itu, tidaklah mengherankan bila banyak kasus yang sulit dibantah, di mana pada berbagai pemilihan kepala daerah ada dugaan terjadinya politik uang.
Berbagai kasus di atas menunjukkan beberapa hal lain yang selalu menyertai isu korupsi, yaitu adanya proses ‘tarik-menarik’ kepentingan antara elite partai di pusat dan di daerah.
Dalam konteks hukum, dampak yang paling nyata adalah makin meluasnya ketidakpercayaan rakyat pada lembaga penegak hukum. Karena itu, tidaklah mengherankan bila penyelesaian sepihak dengan menggunakan kekerasan menjadi salah satu modus yang kerap dipakai masyarakat untuk mewujudkan keadilan versi mereka.
Lembaga peradilan terus menerus mendapat tekanan dan cemoohan dari publik, karena justru membebaskan para koruptor, memberi peluang untuk tidak diperiksa hanya dengan alasan kesehatan, diperiksa di pengadilan tanpa hadirnya terdakwa atau in absentia. Pendeknya, hukum dituding menjadi diskriminatif dan keadilan potensial untuk dapat ‘diperjual-belikan’.
Ketidakmampuan akan proses penegakan hukum juga berdampak langsung pada peningkatan kecemasan masyarakat dan peningkatan angka kriminalitas. Nyawa manusia menjadi kian ‘murah’ saja, karena hanya dengan ratusan ribu saja, orang rela melakukan tindak kriminal untuk membunuh orang lain.
Akibat yang paling mengkhawatirkan, setiap masalah atau pertikaian yang muncul diselesaikan dengan kekerasan sehingga kerusuhan terjadi di mana-mana. Hukum tidak lagi bersifat responsif, tetapi menjadi instrumen untuk memperluas kewenangan kekuasaan memeras rakyat atas nama peraturan daerah dan melegalisasi kesewenangan. Hukum dimaknai bekerja secara prosedural tetapi kehilangan makna substantif dan spiritualitasnya.
Begitu luasnya dampak korupsi dikarenakan terjadi pembiaran terhadap kejahatan korupsi dan tidak pernah ada usaha yang serius dari pemerintah untuk memberantas korupsi.
Selain itu, perlu kesadaran rakyat tentang akibat dari korupsi, menyengsarakan dan merugikan banyak orang, bukan hanya sekarang, tetapi anak cucu juga kebagian sengsaranya.
Perang terhadap korupsi akan terus kita kumandangkan. Peran serta seluruh anak negeri ini diharapkan untuk mengikis korupsi. Mudah-mudahan pada waktunya nanti, korupsi dapat diberantas dari negara ini atau sekurang-kurangnya dapat ditekan sampai tingkat serendah mungkin. Semoga !
Sumber : http://arrdhie.blogspot.com